Jumat, 25 April 2008

Murabahah jadi-jadian

Wah, menarik sekali pertanyaan yang gw ambil dari web pkes(www.pkesinteraktif.com - http://www.pkesinteraktif.com/content/view/1113/41/lang,id/). Dulu, awalnya gw juga ngerasa banyak BMT atau Koperasi Syariah berkelakuan seperti pertanyaan di bawah, semoga saja tidak sesuai dengan kasus ini.


Jawabannya yang bikin si ustad, ustad hasan namanya, yang lahir di jombang. Thanx buat jawabannya yang gamblang!!!!!

Assalamualaikum wr. wb.

Saya ingin menanyakan apakah boleh pola pembiayaan murabahah bukan untuk membeli barang, sebagai ilustrasi saya gambarkan berikut :

  1. Peminjam dana mengajukan pinjaman ke LKS untuk usaha warung hp (isipulsa) Rp. 2.000.000,00 yang ditujukan untuk membiayai operasional warung (beli pulsa, bayar listrik) dan tidak disampaikan secara spesifik tentang barang yang akan dibeli.
  2. Pihak LKS memberikan pinjaman dengan pola murabahah, dengan memberikan uang Rp. 2.000.000 dengan akad jual beli dan peminjam harus mengembalikan secara angsur selama 10 bulan dengan margin 5 persen sebulan. Artinya peminjam membeli uang dari LKS dan LKS menjual uang kepada peminjam? Yang ingin saya tanyakan bagaimana hukumnya transaksi tersebut? Demikian saya sampaikan agar saya menjadi memahami pengertian murabahah yang dipergunakan untuk jual beli uang.

Wassalamualaikum wr. wb.

ali wartadinata

almuntaqoe@yahoo.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya

Wa'alaikumussalam wr. wb.

Sahabat Ali yang baik, sebelumnya pengasuh mengucapkan terima kasih atas partisipasi-nya di rublik konsultasi yang ada di pkesinteraktif.

Pada prinsipnya pembiayaan murabahah merupakan bagian dari transaksi yang mengacu pada akad jual-beli. Karena akadnya jual-beli, maka hubungan yang terjalin antar pihak yang melakukan transaksi adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Jadi, jika dalam praktek murabahah menggunakan 'bahasa' pinjam-meminjam (qard), sudah tidak sesuai dengan karakter awal dari murabahah itu sendiri yang didalamnya mengamanatkan adanya perpindahan kepemilikan berupa barang.

Persoalan pertama terletak pada penggunaan istilah yang tidak tepat. Dalam kasus di atas, istilah yang digunakan bukannya jual-beli, tetapi pinjam meminjam (qard). Seandai-nya, pihak LKS tetap konsisten dengan akad jual-beli, berarti pihak LKS dapat membelikan kebutuhan yang diinginkan oleh pemilik warung, seperti pembelian pulsa. Atau, bisa juga, pihak LKS menalangi terlebih dahulu pembayaran listrik yang menjadi beban pemilik warung.

Dari sisi akad, implikasi dari pinjam-meminjam (qard) dan jual-beli (termasuk murabahah) mempunyai perbedaan yang mendasar. Kalau pinjam-meminjam tidak berimplikasi terhadap perpindahan hak milik. Apalagi, jika obyek yang dipinjamkan berupa uang, dalam perspektif ekonomi Islam, tidak dibenarkan adanya tambahan (ziyadah). Sedang-kan transaksi jual-beli mengamanatkan adanya perpindahan hak milik. Misal, awalnya barang yang diperjualbelikan itu menjadi milik penjual, setelah dijual barang tersebut beralih menjadi milik pembeli. Dalam kasus di atas tidak dijumpai adanya perpindahan hak milik.

Persoalan kedua lebih parah lagi. Jika praktek murabahah menjelma menjadi transaksi jual-beli uang, seperti kasus no dua, sudah tidak mendapat toleransi lagi dalam perspektif ekonomi Islam. Tidak dibenarkan menjadikan uang sebagai obyek dalam transaksi jual-beli. Uang, dalam ekonomi Islam, bukan diposisikan sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar menukar dan alat pengukur nilai suatu barang.

Jika mencermati kasus yang Sahabat Ali kemukakan, sudah tidak lagi ditemukan adanya konsistensi dalam mempraktekkan murabahah.

Demikian penjelasan yang dapat pengasuh sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu 'alam bis showab. [hsn]


Tidak ada komentar: